Tanggal 23 Desember 2013 sore hari sebelum pulang kantor, saya sempatkan membaca kembali email kantor saya. Saya selalu tertarik dengan Newsletter yang dikeluarkan oleh PLN Kita. Kali ini judulnya pun membuat saya semakin bersemangat membacanya "Saatnya Hati Bicara 2 diluncurkan". Ketika attachment saya buka, munculah tanda bulat berputar, loading. Saya pun memutuskan sholat ashar terlebih dahulu sembari menunggu seluruh lampiran email terbuka dan dapat dibaca dengan baik.
*
Sebelumnya PLN Kita pernah mengirimkan email perihal ancang-ancang tentang buku ini. Semua pegawai PLN dapat mengirimkan tulisannya tentang pengalaman pribadi menolak gratifikasi sebelum waktu yang ditentukan.
Saya pun ikut berpartisipasi mengirimkan tulisan saya via email. Beberapa hari kemudian email saya dibalas yang isinya kurang lebih ucapan terima kasih karena telah ikut menyumbang tulisan. Selanjutnya tidak ada pemberitahuan lebih lanjut apakah tulisan saya akan ikut dibukukan atau tidak.
*
Selesai sholat rupanya suami saya sudah menunggu di depan ruangan mengajak pulang. Segera saya kembali ke ruangan untuk bersiap-siap, saya membereskan peralatan kantor, menutup window yang dibuka setelah mengklik perintah save. Saya putuskan melanjutkan pekerjaan saya keesokan harinya.
Seketika jantung saya berdetak, teringat dengan email yang sangat ingin saya buka dari tadi. Sekarang semua sudah dapat dibaca, loading telah berlalu. Dengan deg-degan saya buka Newsletter yang dibuat dalam format PDF itu. Saya mencoba searching nama saya dengan menekan tombol Ctrl + F pada keyboard saya. Kemudian saya ketikkan nama "wina".
Awalnya saya temukan nama "Wina Karlina" di daftar isinya. "Yaaahh", sepertinya tulisan saya tidak masuk. Kemudian saya membaca nama di bawahnya. Wina Indah Pratami. Benar itu nama saya. Judul tulisan "Karena suami saya tidak ridho". Perasaan judulnya kemarin bukan itu yang saya buat, batin saya. Saya segera melihat halaman tulisan lengkapnya. Saya baca sepintas dan benar, itu tulisan saya. Sebagian besarnya sih, sudah diedit sebagian.
Rasanya seperti mendapat kejutan spesial, hadiah terbaik sore itu. Saya segera mencetak lengkap tulisan saya. Kemudian komputer saya matikan dan bergegas menuju parkiran mobil. Tak sabar ingin menunjukkan karya pertama saya pada suami.
Saking tidak sabarnya, saya berlari-lari ke kecil ke mobil. Dengan sedikit ngos-ngosan saya minta maaf dengan suami saya. Spontan suami saya bingung. Saya langsung menyerahkan lembaran-lembaran kertas yang tadi saya print. Suami saya membaca sepintas, seketika senyumnya mengembang. Langsung mengacak kerudungku. Tanda bangganya padaku.
Perjalanan pulang ke rumah sore itu dihabiskan dengan ceritaku yang tulisannya berhasil dimuat di buku yang diterbitkan oleh tempat bekerja kami.
Berikut tulisan saya yang ada dalam buku tersebut(versi sebelum dan sesudah editing) :
Nama : Wina Indah
Pratami
Jabatan :
Junior Officer Administrasi Pemeliharaan Pembangkit
Unit Asal : PT. PLN
(Persero) Pembangkitan Sumbagsel
Judul : I change my self and hope world can follow me Karena suami saya tidak ridho
Saat saya menerima Surat Keputusan (SK)
Pengangkatan menjadi Pegawai PLN, tidak ada sedikit pun terbersit di benak saya
mengenai “korupsi”. Saya pikir dunia kerja
tidak beda jauh dengan dunia sekolah, maklum saya hanya tamat SMA lalu PLN mau
memberi beasiswa D1 Diploma Satu dan
jadilah saya seperti sekarang ini.
Kebetulan,
tempat On Job Training (OJT) saya sama dengan tempat SK Pengangkatan
saya. Sebagai seorang yang baru, saya berusaha
banyak belajar dari para senior. Kebetulan sekali saya ditempatkan di bagian
logistik yang menurut pendapat orang-orang Bagian itu merupakan “lahan tempat basah”.
Awalnya saya tidak terlalu memikirkan pendapat
orang-orang itu, saya pikir mungkin saja hanya bercanda toh saya anak baru.
Namun, setelah makin lama saya di tempat itu saya akhirnya mengerti maksud
dari obrolan orang-orang yang saya anggap candaan tadi tentang “tempat basah”.
Di
tempat itu, banyak sekali yang berusaha memberikan “ucapan terima kasih”
kepada saya atau begitulah yang dikatakan mereka
kepada saya “Ucapan terima kasih kami, Mbak”. Saya bingung lalu
bertanya balik “Ucapan terima kasih bagaimana Pak?” (saya
panggil Pak karena kebanyakan Pimpinan Tertinggi Rekanan PLN adalah seorang
Bapak-bapak). Lalu dia bilang
“Ya, ucapan terima kasih karena Mbak telah membantu pekerjaan kami.” Kemudian Akhirnya saya
jelaskan, “Pak, itu sudah merupakan tugas saya. Saya digaji sama PLN ya untuk
bekerja seperti ini. Mohon maaf Pak, saya tidak bisa menerimanya.”
Alhamdulillah Bapak itu (sepertinya dengan senang hati) mau mengambil kembali pemberiannya. Pernah juga saya jumpai ada yang memaksa saya menerima,
namun lagi-lagi saya menolak tegas upah itu. Ada juga yang pernah bilang, “Maaf
Mbak gak sempat bawa oleh-oleh, ini buat Mbak”,
katanya (sambil menyerahkan amplop). Langsung saja saya timpali, “Maaf Pak saya
tidak bisa terima, gak papa gak bawa oleh-oleh.”
Semua kejadian yang saya alami ini
saya ceritakan kepada suami saya, Alhamdulillah saya sangat bersyukur Allah
telah memberikan pasangan hidup yang ‘sama’ seperti saya. Suami saya sangat
mendukung apa saja yang saya lakukan. Beliau juga bangga karena saya mampu
menolak godaan-godaan yang ada.
Tiga tahun berlalu, saya dan suami
saya dipindahkan ke Kantor Induk. Sungguh saya sangat gembira dimutasikan ke kantor induk, karena semoga saya akan terbebas dari godaan-godaan yang selama ini berlalu lalang di depan
saya.
Namun ternyata semua itu tidak
sampai di sini, entah apa rencana Allah kepada saya. Saya ditempatkan di tempat
yang lagi-lagi dianggap banyak orang sebagai “lahan basah”. “Huff” adalah kata
yang keluar ketika orang-orang berprasangka bahwa saya suka ditempatkan di
tempat yang mereka anggap “enak”.
Saya selalu berupaya meneguhkan
hati saya bahwa saya akan berusaha menjadi “baik” di manapun saya berada, tidak
peduli apa kata orang-orang yang berprasangka.
Sebagai orang baru di tempat yang
baru (juga),
saya (pura-pura) agak
bingung ketika diberikan amplop (tentunya
berisi uang, mosok saya gak bisa
bedain uang atau kertas hehe) kepada saya.
Kali ini saya dikasih amplop di tempat yang agak terbuka karena memang tempat
kerja saya yang baru ini tidak disekat, apalagi jumlah stafnya lebih banyak
dibanding jumlah staf yang ada di unit lama tempat saya bekerja dulu.
Karena bingung cara menanggapinya
saya terima dulu amplop tersebut. Amplop tersebut menurut saya sangat tebal,
mungkin di dalamnya ada sekitar satu jutaan. Saya langsung bertanya dalam hati
saya, “Satu juta hanya untuk staf seperti saya? Bagaimana untuk atasan, atasan
atasan saya, trus atasan atasan atasannya lagi?”
Lalu saya minta pendapat salah satu
rekan kerja yang saya teladani. Beliau berkata, “Gak papa itu diterima. Kalo
minta ya jangan, tapi kalo diterima ya diambil.” Astaghfirullah..... teriak batin saya.
Setelah pulang kerja, lagi-lagi
saya ceritakan masalah tersebut kepada suami saya. Beliau dengan tegas berkata
bahwa amplop itu harus dikembalikan. Alhamdulillah ya Rabb, Engkau telah
berikan pemimpin yang InsyaAllah membimbing
hamba agar tetap di jalanMu.
Keesokan harinya Alhamdulillah si
Bapak yang kasih memberi
uang (kemungkinan 1 juta) itu
masih berkepentingan ada urusan ke di
kantor. Segera saya kembalikan amplop tersebut. Si Bapak bertanya,
“Kenapa?” Spontan saya jawab, “Karena suami saya tidak ridho.” Lalu dia bilang,
“Kan gak perlu bilang ke suami?” Seketika itu istighfar saya ucapkan dan saya
tegaskan, “Maaf Pak, saya tidak bisa menerima pemberian yang tidak diridhoi
suami saya.” Alhamdulillah pembicaraan tidak diperpanjang lagi.
Sampai saat ini saya tetap berusaha
untuk tidak menerima apapun dari mitra kerja PLN, tanpa mengurangi pelayanan saya ke mitra kerja PLN. Semoga saya tetap bisa menjaga komitmen saya,
lalu semoga orang-orang di dekat saya dapat “tertular” komitmen saya dan
akhirnya semua pegawai PLN dapat menjalankan komitmen yang sama dengan saya.
Majulah terus PLN, teruslah berkarya dan berinovasi, saya selalu mendukungmu. I love you full, my PLN. Jiwa dan ragaku untukmu. (***)
No comments:
Post a Comment