Total Pageviews

Wednesday, May 21, 2014

Kado untuk Pemimpinku

Maret 2009 aku resmi merantau ke daerah Sungai Batanghari, provinsi Jambi. Daerah yang terkenal dengan simbol dua angsa membentuk 'hati'. Sesuai dengan simbolnya, di situ juga awal aku membentuk hatiku hehe.

Di daerah yang dikenal dengan sebutan daerah 'angso duo' itu aku mengikuti program On Job Training salah satu perusahaan BUMN di Indonesia.

Sejak awal pendidikan, aku memang ingin sekali ditempatkan di daerah penghasil kopi AAA itu dengan alasan ingin lebih dekat dengan kedua orang tuaku.

Sejak TK, aku terbiasa hidup jauh dari kedua orang tuaku. Mereka bekerja di kecamatan kecil bernama Bayung Lencir. Kelas 1 sampai 3 SD aku sempat menetap di Bayung Lencir sebelum akhirnya diminta kedua orang tuaku menuntut ilmu ke daerah yang lebih baik, Kota Palembang.

Bulan Agustus 2009, hari kemerdekaan Indonesia yang pertama kali aku rayakan di Jambi. Aku pun diminta untuk menjadi Panitia hari peringatan itu. Sebenarnya aku mendapat posisi sebagai anggota biasa, namun karena temanku yang menjadi Bendahara sedang berhalangan jadilah aku menggantikannya.

Pada saat itulah untuk pertama kalinya aku lebih mengenal laki-laki yang bernama Fajar Sumaryanto. Dia bertindak sebagai Ketua Panitia. Awalnya aku tidak merasakan sesuatu yang 'aneh', aku pun hanya menganggapnya sebagai Kakak. Kami memang menghabiskan waktu bersama lebih banyak dari biasanya dikarenakan acara itu. Mulai dari membeli perlengkapan lomba hingga bersama-sama membeli hadiah untuk pemenang lomba.

Persiapan pun rampung dan hari peringatan itu tiba. Aku pun ikut berpartisipasi dalam melancarkan acara itu. Di saat acara hampir berakhir, aku pun menerima sms dari Ketua Panitia yang kira-kira isinya seperti "Terima kasih atas kerja kerasmu". Seketika itu aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Aku segera menanyakan kepada teman-teman yang lain apakah mereka menerima sms yang serupa. Teman-temanku sepakat menjawab "Tidak". My first strange moment with him! 

Acara pun selesai dan kami harus membuat laporan hasil kegiatan tersebut. Aku kembali menyelesaikan laporan itu bersama Ketua Panitia, of course. Sekitar pukul 9-10 dia menelepon, berkata bahwa dia perlu bantuanku menjelaskan laporan yang telah ku buat. Aku pun sedikit berdebat karena aku pikir laporanku sudah sangat jelas sebelum akhirnya aku memutuskan untuk turun dari bangunan kantorku yang terletak di atas PLTD Payoselincah ke kantor administrasi di seberangnya.

Sesampainya di sana, aku pun berusaha menjelaskan semaksimal mungkin. The second strange moment was happened. Dia tidak memperhatikan penjelasanku sama sekali, sibuk memperhatikan hal lain, aku. Aku pun bertanya dan dengan santainya dia menjawab bahwa dia sedang mengagumi makhluk Tuhan yang sangat indah. Malu dan kesal pun bercampur aduk. Dengan muka sedikit merajuk, aku segera menyelesaikan urusanku.

First of December 2009 was my 19th birthday. Dia mendatangiku dan memberikan kado sebuah buku yang menurutku saat itu sangat tebal. Aku yang dulu hanya suka membaca komik dan tidak menyukai novel sama sekali. "Terima kasih", kataku pertamanya. Lalu ku sambung dengan bertanya alasan dia memberiku buku itu. Dia menjawab bahwa buku itu sangat bagus menurutnya. Aku akan mendapat pelajaran berharga darinya. Tahukah kalian buku apa itu? Itu adalah novel "5 cm" karya Donny Dhirgantoro.

Aku masih bersikukuh bahwa aku tidak punya tertarik membaca buku setebal itu, namun dia yang setengah merajuk berkata bahwa aku tidak menghargai pemberiannya jika aku tidak membaca buku itu.

"Baiklah", kataku.  Aku akan mencoba membacanya walaupun aku tak yakin akan menyelesaikannya.

Sepulang kantor, aku membuka halaman pertama buku itu. Terdapat tulisan "Selamat ulang tahun adikku sayang, semoga sukses dunia & akhirat." Seketika senyumku mengembang. Malu-malu aku memulai membaca buku itu.

Aku yang terbiasa membaca komik dan tidak punya pengalaman sama sekali dalam membaca novel membutuhkan banyak waktu untuk menyesuaikan diri. Aku setengah terbata-bata memahami tulisan demi tulisan dalam buku itu. Namun, semakin aku membaca buku itu semakin menggebu rasa untuk menyelesaikannya. Hari keempat buku itu selesai ku baca.

Keesokan harinya aku pun melapor kepadanya dan mengucapkan terima kasih atas buku pemberiannya yang sangat menginspirasiku. Aku juga sengaja meluangkan waktu demi mengucapkan terima kasih dan sedikit bercerita kepada penulis buku itu via Facebook. Penulisnya pun dengan baik hati membalas pesanku dan menitipkan salam untuk pemberi bukunya untukku, laki-laki yang awalnya aku anggap Kakak tadi.

Februari 2010, aku memutuskan memilihnya sebagai pendamping hidup dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan Sang Pencipta. 

April 2010, keluarganya datang ke Palembang untuk menemui keluargaku dan menentukan tanggal pernikahan kami.

27 Juni 2010 kami melangsungkan 'upacara sakral' untuk mengikat kami dalam janji suci. Hari yang menjadikan segala sesuatunya menjadi berbeda. Hari yang mengubah hidup kami. Hari yang membuat jantungku berdetak tak karuan sebelum akad nikah digelar. Hingga saat ijab kabul selesai diucapkan dan para saksi menyahut dengan kata "sah", segera perasaan lega menghampiriku. Alhamdulillah.

Acara adat kami jalani dengan senang hati hingga pukul dua siang kami sepakat mengibarkan bendera putih. Senang namun rasa lelah tidak dapat dipungkiri lagi.

Hari ketiga setelah akad nikah dan resepsi, kami memulai hidup baru sebagai pasangan.

Sejak hari ketiga sampai saat ini dia sama sekali tidak berubah. Dia tetap seperti sebelum menikah. Aku yang awalnya khawatir dengan ucapan orang-orang yang menyatakan bahwa biasanya laki-laki hanya baik pada saat pacaran/sebelum menikah, setelah menikah rasa sayang suami akan berkurang begitu katanya mereka. Aku yang awalnya juga sempat menelan mentah-mentah 'wejangan' orang-orang itu sekarang menjadi yakin bahwa dia sungguh berbeda dibanding yang lain.

Bagaimana tidak? Dia yang sejak awal kami menikah rajin membantu kegiatan ibu rumah tangga, sampai saat ini pun dia masih mau melakukan kegiatan ibu RT itu.

Dia juga tidak pernah merasa malu untuk menyapu, mencuci piring, mengepel lantai, belanja ke pasar tradisional dan memasak. Bahkan sebenarnya dia lebih pandai mengurusi rumah tangga dibanding aku sendiri. Dia benar-benar pemimpin sejati bagiku. 

Dia mengenalkanku pada hal-hal baru, khususnya mengenalkanku pada dunia perbukuan. Aku yang awalnya hanya seorang pembaca komik, sekarang sangat suka membaca apa saja. Tak pernah lagi terpaut pada ketebalan buku. 

Dia adalah guruku. Dia yang mengajariku memasak, dia lebih pantas disebut 'koki rumah' dibandingkan aku.

Di saat aku 'merengek' pun dia dengan lihainya menenangkanku, layaknya seorang ibu dapat menenangkan bayi yang menangis.

Puasa tahun pertama bersamanya adalah berkah untukku. Kami dipercaya untuk memiliki momongan. Dia tanpa absen selalu menemaniku konsultansi ke dokter kandungan yang kami sepakati bersama. Dia dengan kedewasaannya mendampingiku menjalani hari-hariku sebagai wanita hamil. Perhatiannya sungguh tidak diragukan lagi, dia bersedia memijat kaki-kakiku di kala ku lelah. Pokok'e, service-nya puooll.


15 April 2011 kami diberikan amanah seorang putri. Hampir satu tahun sejak menikah, dia tetap seperti saat pertama aku mengenalnya. Tetap ringan tangan membantuku mengurusi penghuni baru rumah kami. Dia mau membantu membuatkan susu, terampil memandikan bayi kecil kami, tanggap membersihkan kotoran perempuan kecil kami, dan rela terbangun di malam hari demi menggantikan popok basah malaikat kecil kami (padahal keesokan harinya dia harus bekerja).

Dia bukanlah seorang pemarah, dia sangat sabar. Pernah aku kelupaan merebos botol Yesha hingga penyok, aku merasa bersalah sekali karena teledor (kurang hati-hati). Dia dengan tenangnya bilang tidak apa-apa seperti tak ada masalah. 


Dia memang spesial. Aku pun tak pernah lagi meragukannya. Dia seperti apa yang dia pernah ucapkan padaku dulu. Ucapannya sangat bisa dipegang. Dia sangat bisa ku percaya.

Dia jugalah tauladanku. Kami berdua bukanlah ahli agama. Sampai saat ini pun kami masih berusaha untuk semakin baik. Kami masih mencari jalan untuk semakin dekat padaNya.

Jika dia mendapatkan ilmu baru, dia dengan senang hati berbagi denganku. Dia tidak hanya melisankan ilmu baru yang didapatnya. Dia juga segera mewujudkan ilmu baru itu dengan melaksanakannya. Seperti itulah teladan yang baik menurutku. Pertama dia mencontohkan dan aku mengikuti. Seperti itulah pemimpin yang aku harapkan.

Dia memang tidak sempurna namun dia berusaha untuk menjadi sempurna. Semua terlihat dari tindak tanduknya. Semua janjinya berusaha dia tepati.

Dia jualah pedomanku. Dari awal menikah, dia memang tidak tertarik dengan sesuatu yang bermewah-mewahan. Dia menyukai tampilan naturalku tanpa polesan sedikit pun. Dia tidak suka berpesta, hal itu dia buktikan dengan acara aqiqah anak kami yang sederhana. Kala itu, acara aqiqah putri kami hanya berupa pemberian masakan satu kambing kepada Panti Asuhan dan dijawab dengan doa-doa oleh pihak Panti. Hanya sesederhana itu. Kesederhanaan yang membuatku semakin jatuh hati padanya.

Setiap hari ulang tahun tidak pernah kami rayakan secara megah, baik itu ulang tahunku, ulang tahunnya ataupun ulang tahun anak kami. Dia mengajarkan kami untuk hidup sederhana. 

Dia menyemangatiku dalam menimba ilmu, memotivasiku untuk semakin memperkaya diri. Sebagaimana perintahNya.

Dia tidak pernah serta merta menyuruhku untuk melakukan sesuatu. Dia lebih suka meminta pendapatku dahulu mengenai sesuatu. Dia sangat menghargaiku, dia memperlakukanku layaknya seperti seorang pendamping.

Dia tidak pernah semaunya membeli sesuatu kesukaannya, dia lebih suka menanyakannya dahulu padaku. Ini mengingatkanku saat dia ingin membeli komik kesukaannya, dia meminta izinku dulu sebelum membelinya. Dia menghormatiku dan menganggapku ada.

Dia juga tidak pernah membatasiku dalam bergaul. Dia mempercayaiku. Bahkan dia mau ikut menjemput teman-teman (perempuan)-ku yang ingin 'bertandang' ke rumah kami. Pernah juga teman-teman (laki-laki)-ku berkunjung ke rumah. Dia dengan luwes-nya ikut bergabung dengan kami, berbincang-bincang.

Dia sungguh tidak pelit, dia hanya mengajarkanku untuk memenuhi kebutuhanku bukan keinginanku. Dia juga dengan senang hati mengizinkanku membeli buku-buku pengetahuan, baik untukku ataupun untuk anak kami. Dia mengenalkan bacaan pada kami.

Dia pandai memasak melebihi aku sendiri. Yesha kecil selalu bersemangat jika melihat Bapaknya memasak. Ingin tahu.

Dia rela menahan laparnya demi melihatku kenyang. Jika ada satu kotak makanan, dia lebih memilih memberikannya kepadaku demi mengurangi sedikit laparku. Dan dia tanpa beban memakan sisa-sisaku.

Di saat sakit pun dia tidak pernah sedikit pun menyusahkanku. Namun di kala aku yang sakit, dia juga tidak lepas tangan. Dia pun aktif merawatku. 

Entah kenapa, dia suka dengan angka delapan. Aku pernah dengar bahwa angka delapan juga disebut 'infinity' jika diputar 90 derajat searah jarum jam.






  

Any man can be a father. But he's trying to be a dad.


Nyontek dikit dari Tasaro GK dalam buku Sewindu-nya :
"Ke mana lagi ku cari laki-laki seperti dia?" 
"Ke mana lagi ku dapatkan laki-laki seperti dia?"