Total Pageviews

Friday, October 21, 2016

Bos Terbaik



Awalnya menjadi seorang staf administrasi di bagian teknik merupakan pekerjaan yang sulit. Banyak orang berpikir bahwa saya mempunyai latar belakang teknik. Namun kenyataannya tidak. Sering kali orang menanyakan hal-hal teknis yang membingungkan saya. Lalu, akhirnya ditutup dengan penjelasan bahwa saya hanya menempuh pendidikan administrasi.

Menjadi seorang staf administrasi menjadi semakin mudah ketika saya memperoleh atasan baru di tahun 2015. Atasan baru ini memberikan tugas yang sesuai dengan kompetensi mendasar saya, yaitu administrasi. Saya sangat menikmati pekerjaan saya, meskipun dalam sehari saya diminta menyelesaikan puluhan surat. Mulai dari membuat konsep surat, meminta paraf, memberi nomor hingga mendistribusikan surat. Semua proses panjang terasa menyenangkan.

Setiap pagi saya semangat untuk berangkat ke kantor, menanti tugas administrasi dan pulang dengan perasaan puas atas pekerjaan saya hari itu.

Motivasi bekerja saya semakin meningkat ketika atasan saya memberikan nilai tinggi atas hasil kerja saya. Penilaian hasil kerja saya sangat baik di mata atasan saya, sehingga saya harus terus memberikan hasil kerja yang baik pula. Rasa kagum saya muncul ketika saya menyaksikan pembagian pekerjaan yang diberikan oleh atasan saya. Beliau memberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan bawahannya untuk mencapai target.

Saya semakin terpukau dengan atasan saya ketika dia memaklumi semua keterlambatan dan ketidakhadiran bawahannya. Ada sebagian atasan yang akan bermuka masam ketika kita meminta izin terlambat maupun tidak hadir. Namun, hal itu tidak berlaku bagi atasan saya ini. Dia sangat memaklumi segala hambatan bawahannya. Dan mencari solusi atas permasalahan tersebut.

Saya terkadang terlambat bekerja karena ada keperluan di sekolah anak. Beliau menolerir hal tersebut. Saya dipersilakan menyelesaikan kebutuhan anak dan masuk bekerja jika telah siap.
Saya juga takjub dengan jam kerja atasan saya. Beliau berusaha memanfaatkan waktu kerja semaksimal mungkin. Beliau mulai bekerja pukul 07.30 WIB, lalu selesai pukul 16.00 WIB. Beliau tidak akan memberikan pekerjaan di atas pukul 15.30 WIB kecuali urgent. Bahkan Deputi Manajer Enjiniring & TI kala itu (Bapak Dinda Alamsyah) mengacungi jempol atas jam kerja atasan saya ini.

Kelebihan lainnya, atasan saya dengan senang hati memberikan cuti kepada bawahannya. Atasan saya sangat memaklumi segala jenis cuti yang diambil oleh bawahannya. Beliau pernah berkata bahwa pegawai memang harus mengambil cuti untuk melepaskan penat bekerja. Dengan mengambil cuti, kita dapat menyegarkan pikiran dan kembali bekerja dengan lebih semangat. Beliau hanya berpesan, “Pulang cuti harus siap kerja lagi ya, Win”.

Terkadang beliau juga membelikan kami makanan ringan untuk dinikmati bersama. Mulai dari makanan asin hingga manis, mulai dari pempek hingga donat. Kembali dari perjalanan dinas pun, beliau sering membawakan kami oleh-oleh.

Saya sempat tercengang dengan keramahan atasan saya pada anak-anak. Pernah saya terpaksa mengajak Yesha (anak saya) ke kantor. Tetapi atasan saya sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran Yesha. Beliau malah bercengkerama ramah dengan Yesha. Beliau meladeni percakapan Yesha dengan senang hati. Bahkan beliau ikut memberikan kado ulang tahun untuk Yesha.

Tidak hanya pandai menjalin hubungan dengan bawahannya, atasan saya juga berhubungan baik dengan Mitra Kerja PLN KITSBS. Beliau tidak pernah mempersulit Mitra Kerja. Beliau bahkan memberikan saran demi kelancaran pekerjaan yang dilakukan oleh Mitra Kerja. Namun bila Mitra Kerja terbukti melakukan kesalahan, beliau tidak akan berkompromi. Beliau akan memberlakukan hukuman sesuai prosedur yang berlaku.

Mungkin para pembaca penasaran siapakah atasan saya ini? Beliau pernah menjabat sebagai Deputi Manajer Pemeliharaan Pembangkit PLN KITSBS, sebagai atasan langsung saya. Saat ini beliau menjabat sebagai Manajer Sektor Pengendalian Pembangkitan Jambi. Beliau adalah Bapak Ardani Fikriansyah, salah satu orang yang saya kagumi di PLN.

Thursday, October 20, 2016

My Best Partner



Tulisan ini saya buat dalam rangka Lomba Menulis Blog HLN 71. Ini merupakan tulisan kedua setelah Mengamalkan Penolakan Gratifikasi. Sekarang saya mau bercerita tentang suami saya (Fajar Sumaryanto), yang tidak lain adalah pegawai PLN juga. Dia dinyatakan pegawai tetap PLN sejak tanggal 01 November 2009.

Mulai tanggal 27 Juni 2010, kami selalu bersama. Kebetulan penempatan kerja kami hingga saat ini sama. Penempatan pertama di Sektor Jambi, salah satu unit di bawah pengawasan PLN KITSBS. Tahun 2012, kami sama-sama dimutasikan ke Kantor Induk PLN KITSBS di Palembang. Jadilah kami selalu berangkat ke kantor bersama dan pulang juga begitu.

Meskipun kantor sama, saya dan suami ditempatkan di bagian yang berbeda. Sejak di Sektor Jambi, suami saya selalu ditempatkan di bagian Sumber Daya Manusia (SDM).

Suami saya bekerja secara profesional. Walaupun suami saya terbiasa mengurusi masalah rahasia (mutasi jabatan), dia tidak pernah menceritakannya kepada saya. Sering sekali orang berprasangka bahwa saya mengetahui semua pekerjaan suami saya. “Lho, masak sih Win gak tahu klo si A pindah? Kan suamimu yang ngurusin Berita Acara Mutasinya”, tanya seorang teman. “Duh, maaf ya. Saya memang tidak pernah menanyakan pekerjaan suami saya dan saya merasa tidak perlu tahu tentang apa saja yang dikerjakan suami saya”, jelas saya.

Suami saya juga tidak sungkan mengeluarkan sedikit uang demi menyelesaikan pekerjaan. Pernah saya lihat suami mengeluarkan biaya foto kopi pekerjaan yang beratus-ratus lembar. Lalu saya tanyakan, “Kok gak foto kopi di kantor, Pak?” “Soalnya rahasia, Bu. Nanti kalo di kantor ketahuan orang”.

Tak hanya dapat menyelesaikan pekerjaan kantor, suami saya juga membantu pekerjaan rumah dengan baik.

Karena kondisi kami berdua yang sama-sama bekerja, suami pun mengerti dengan kondisi rumah yang tidak selalu rapi. Sering sekali suami saya ikut membersihkan rumah, mulai dari menyapu hingga mengepel lantai. Tidak hanya itu, suami saya juga tidak malu untuk mencuci dan menjemur pakaian. Jangan ditanya soal memasak, suami saya bahkan lebih jago dibandingkan saya sendiri.

Dalam hal mengurus anak sekali pun, suami saya tidak segan untuk ikut andil. Bahkan selepas melahirkan, yang belajar memandikan anak kami pertama kali adalah suami saya. Bahkan suami saya terampil menggantikan popok hingga memakaikan baju anak. Sehingga ketika saya tidak berada di rumah, suami saya tetap merasa nyaman hanya berdua dengan anak.

Ada kalanya ketika suami saya lebih banyak menghabiskan waktu di kantor, dibandingkan di rumah. Namun semua itu terbayar dengan liburan penuh bersama keluarga.

Suami saya tidak hanya hebat dalam bekerja tetapi juga sangat luar biasa dalam mengurus rumah tangga. Baik urusan kantor maupun rumah dapat diselesaikan dengan tuntas.

Wednesday, October 19, 2016

Mengamalkan Penolakan Gratifikasi





Tulisan ini saya buat dalam rangka Lomba Menulis Blog HLN 71. Kali ini saya menulis  tentang pengalaman menolak Gratifikasi yang masih marak di lingkungan PT PLN (Persero). Pengalaman lainnya pernah saya kontribusikan untuk Buku Saatnya Hati Bicara 2. Inilah kisah saya.



Mulai dari OJT, pengangkatan/penempatan, hingga mutasi jabatan, saya selalu ditempatkan di “lahan basah”. Sewaktu OJT dan penempatan pertama, saya menjadi staf di bagian logistik Sektor Jambi. Lalu, sampai saat ini saya merupakan staf administrasi di sub bidang Pemeliharaan Pembangkit Kantor Induk PLN KITSBS. Selama hampir tujuh tahun bekerja, saya selalu dikelilingi dengan orang yang suka memberi “ucapan terima kasih”.



Sewaktu di Sektor Jambi, salah satu unit di bawah pengawasan PLN KITSBS, saya disuguhkan gratifikasi senilai ratusan ribu rupiah. Nilai gratifikasi ini meningkat tajam ketika saya saya berada di Kantor Induk PLN KITSBS. Saya ditawari gratifikasi hingga jutaan rupiah.



Mungkin pembaca penasaran dari mana saya tahu nilai gratifikasi tersebut?



Jawabannya, tentu saja dari ketebalan amplop yang diberikan kepada saya.



Tidak hanya amplop berisi uang tunai, saya juga pernah dibagikan tas branded yang bernilai jutaan rupiah.



Hampir semua kegiatan di kantor saya ceritakan kepada suami. Salah satunya adalah masalah gratifikasi. Suami menolak dengan tegas perihal gratifikasi. Dia menjelaskan bahwa agama Islam tidak membenarkan gratifikasi. Lalu, PLN juga sudah mengatur tentang penolakan gratifikasi. Dan, logika sendiri juga berpikir kenapa harus menerima gratifikasi? Toh, kita sudah diberikan penghasilan oleh perusahaan atas kerja kita. Lalu, kenapa pihak lain harus memberikan kita imbalan tambahan? Inilah beberapa alasan yang memotivasi saya untuk menolak gratifikasi.



Gratifikasi menorehkan berbagai macam coretan dalam kehidupan saya.



Mulai dari coretan kecil.

Pemberi Gratifikasi        : “Mbak, ini ada ucapan terima kasih dari kami”.

Saya                             : “Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerimanya”.

*end



Lalu coretan sedang.

Pemberi Gratifikasi        : “Mbak, ini ada ucapan terima kasih dari kami”.

Saya                             : “Maaf, saya tidak bisa menerimanya, Pak”.

Pemberi Gratifikasi        : “Lho, kenapa, Mbak?”

Saya                             : “Karena itu sudah merupakan tugas saya”.

*end



Hingga coretan panjang.

Pemberi Gratifikasi        : “Mbak, ini ada ucapan terima kasih dari kami”.

Saya                             : “Tidak usah, Pak”.

Pemberi Gratifikasi        : “Lho, kenapa, Mbak?”

Saya                             : “Karena suami saya tidak ridho”.

Pemberi Gratifikasi        : “Kan cukup terima aja, Mbak. Gak perlu bilang ke suami”.

Saya                             : “Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima pemberian yang tidak dirihoi suami

                                      saya”.

*end



Penolakan gratifikasi yang saya lakukan mendapat respon positif dari sebagian pemberi gratifikasi. Sebaliknya, ada juga pemberi gratifikasi yang memberikan respon negatif. Saya misalkan pemberi gratifikasi yang memberikan respon positif adalah Bapak A. Sedangkan pemberi gratifikasi yang memberikan respon negatif adalah Bapak B.



Setelah penolakan gratifikasi yang saya lakukan, hubungan kerja antara saya dan Bapak A tetap berjalan dengan baik. Sebaliknya, hubungan kerja antara saya dan Bapak B sedikit berbeda. Bapak B menjadi sungkan untuk melakukan komunikasi dengan saya. Bapak B lebih memilih orang lain untuk mendiskusikan pekerjaannya dibanding saya. Hingga Bapak B membatasi kontak dengan saya.



Semua reaksi yang saya terima, baik itu positif maupun negatif, tidak menurunkan motivasi saya untuk mengamalkan penolakan gratifikasi. Saya tetap berusaha memberikan pelayanan terbaik tanpa iming-iming mengharapkan gratifikasi. Melalui tulisan ini saya berharap rekan-rekan yang lain juga dapat mengamalkan penolakan gratifikasi, seperti yang saya lakukan.


Friday, August 5, 2016

Xplore Jakarta : Playparq

Niatnya sih mau ke Playground, namun waktu dicari tak kunjung ketemu. Akhirnya kami mencari alternatif lain dan sampailah di Playparq ini.

HTM Hari Libur : Rp.100.000,- per anak (sudah termasuk free 1 pendamping)

Untuk pendamping ke-2 dst., diwajibkan membayar sebesar Rp.10.000,- per orang












 

Xplore Jakarta : Museum Layangan

Sesuai namanya, Museum ini menyimpan beraneka ragam layangan. Mulai dari ukuran standar hingga ukuran jumbo.

Sayang, ketika kami datang ke museum ini sedang ada acara Halal Bihalal. Jadi, museumnya ditutup. Yesha yang awalnya antusias menjadi murung karena batal masuk museum.

Untunglah di luar museum juga ada beberapa layangan, lumayan menghibur.