Total Pageviews

Tuesday, April 15, 2014

Meine kleine Aisyah



Minggu kedua bulan Agustus 2010, bertepatan dengan minggu pertama bulan puasa (Ramadhan), aku bangun untuk melaksanakan sahur bersama suami. Hari itu hari yang kami rencanakan untuk mencoba test pack (uji kehamilan). Aku pun masuk ke kamar mandi, setelah selesai, aku keluar menunjukkan hasilnya pada suamiku. Ada dua garis terpampang di stik kecil itu, satu berwarna merah terang dan satu berwarna merah muda. 

Segera aku menyabet telepon selulerku, langsung menekan nomor Mama. Dari sana, mama mengangkat. Langsung ke pokok masalah aku mengabarkan kabar bahagia itu. Sekalian memastikan apa benar maksud dua garis tadi bahwa aku positif hamil. Ternyata jawaban Mama, "Iya". Alhamdulillah, terima kasih atas kepercayaanMu wahai Dzat Yang Maha Pemberi. Segera kami mencari-cari dokter kandungan yang mendukung lahiran normal. Maklum saat ini banyak dokter kandungan yang dengan mudahnya menyarankan untuk melahirkan secara caesar. Mama pun memberi saran untuk konsultasi ke dr. Sindhung, SpOG. Kami menurut saja.

Keesokan harinya sepulang kerja segera kami mendaftar ke tempat praktek dr. Sindhung. Tak sabar ingin melihat tampak janin kami. Dokter pun menyatakan bahwa aku benar-benar hamil. Kami panjatkan kembali ucapan syukur itu.

Tiga bulan pertama aku berjuang melawan rasa kantuk dan rasa mual setiap kali makan. Saran dokter, makan permen jahe untuk mengurangi rasa mual pun ku lakukan namun tetap sama. Namun, semua ketidakenakan itu tak terlalu ku hiraukan demi janin dalam perutku. Ku usahakan menutrisi bayi ini sebaik-baiknya.

Saran-saran lain pun berdatangan, baik dari keluarga, teman-teman maupun tetangga. Semua berusaha ku turuti sebagai ungkapan terima kasihku atas perhatian mereka.

Saran yang ku utamakan adalah mengaji. Saran mengaji ini datang dari Mbakku (Ratna Syifa'a) dan Acuku (baca: Bibi). Mbakku menyarankan agar setiap hari didengarkan ngajian, surat apapun gak masalah, biar bayinya damai. Sedangkan acu, menyarankan surat As-Sajadah atau Ar-Rahman. Aku memilih Ar-Rahman yang ku lantunkan setiap selesai shalat dhuha. Setiap maghrib aku baca ayat-ayat cinta-Nya yang lain. Semua kulakukan demi buah cinta kami.

Selepas tiga bulan tak ada lagi pantangan. Semua kembali seperti semula termasuk nafsu makanku yang membaik, malah hampir tiap dua jam sekali aku makan hehe. Sampe-sampe pernah dalam satu bulan naik dua kilo, dokter kandunganku pun langsung protes. Katanya, "Ibu, kalo bisa naiknya (berat badan) jangan banyak-banyak, cukup sekilo aja sebulan." Aduuuhh, kalo lapar piye tho, dok? Hihi.

Tiap perjalanan tidaklah selalu mulus, terkadang kita tersandung kerikil. Mungkin begitulah gambaran pas untuk my pregnancy journey. Tapi semua aku nikmati. Itulah seni dari kehidupan. Drama terbaik karya Sang Pencipta.

Suatu ketika waktu kontrol ke dokter kandungan, perutku di USG. Kata dokter, posisi kepala bayi ada di atas dan kaki di bawah. "Ya Allah", aku seketika menyebutNya. Namun, dokter menyemangatiku. Katanya posisinya masih bisa berubah karena masih sekitar bulan kelima. Aku pun diminta untuk sering sujud. Untuk memastikan, aku pun menelpon Mama bermaksud meminta pendapatnya. Syukur Mama memberikan jawaban yang sama. Alhamdulillah. Saat itulah, aku berpikir daripada sekedar sujud ada baiknya jika aku sekalian menambah jadwal sholatku. Aku pun mengambil pilihan sholat dhuha. Tiap hari aku berdoa agar aku kelak mampu melahirkan secara normal.

Memasuki usia delapan bulan, aku kembali kontrol ke dokter. Posisi bayi sudah hampir benar, jalan lahir tertutup oleh plasentanya sendiri. Lagi-lagi, dokter menyatakan bahwa tetap bisa lahiran normal. Alhamdulillah, tak salah pilih dokter pikirku.

Bulan ke sembilan aku kembali menemui dokter dengan maksud melihat perkembangan bayi sambil menanyakan proses persalinan nanti. Perkiraan persalinan tanggal 16 April 2011.

Tanggal 14 April 2011, kala itu masih ku dengar kumandang adzan, subuh datang, segera aku bangkit dari tempat tidurku. Semalaman aku sudah tidak bisa tidur, terjaga 'menikmati' tendangan-tendangan dari bayi di kandunganku. Ku ambil air wudhu, bersiap 'melapor' menghadapNya. Setelah selesai, aku pun langsung menelepon Mama. Menumpahkan semuanya. Mama pun berpesan menyuruhku segera ke rumah sakit, sudah waktunya bersalin rupanya. Aku segera mandi, bersiap ke rumah sakit. Keluar kamar mandi, segera aku bangunkan suamiku dan nenekku. Bercerita sedikit, segera mereka bergegas ikut bersiap.

Kami bertiga sepakat untuk sarapan di rumah sakit saja, demi aku dapat pertolongan secepatnya. Sesampainya di rumah sakit, kami masuk ke UGD RS Siloam Jambi. Tak perlu lama menunggu, aku pun segera diperiksa. "Ibu sudah bukaan tiga, mau pulang dulu atau langsung pesan kamar?", tanya perawat. Aku dan suami pun sepakat pesan kamar. Tak lama administrasi selesai, perawat membawa kursi roda. Aku dibawa ke ruang bersalin. Sesampainya di sana, bayiku langsung protes mengingatkan bahwa dia belum diberi makan pagi ini. Aku pun meminta suamiku membeli sarapan sekalian buat nenek. Tak lupa, aku juga menelpon Mama mengabarkan keadaanku. Mama pun berpesan ini-itu. Aku mengiyakan. Terakhir Mama bilang, "InsyaAllah sore Mama baru bisa ke sana." Tak apa jawabku santai.

Suamiku tiba tanpa sarapan pesanan kami, mengerti arti tatapanku, segera dia menjawab, "Nanti pesanannya diantar." Oohh pendekku pun keluar. Beberapa menit kemudian, datanglah sarapan kami. Aku pun dengan semangat menghabiskannya. Selesai sarapan, aku pun berjalan-jalan, jongkok-jongkok, guna menjalankan pesan Mama, supaya persalinannya lancar. Waktu zuhur tiba, aku pun segera 'melapor' lagi. Selesai sholat, aku kembali lagi ke ruang bersalin.

Tak terasa sudah pukul dua siang. Perawat kembali memeriksaku, "Baru bukaan empat Bu", ucapnya. Lamanya pikirku. Perawat pun menyarankanku untuk kembali berjalan-jalan. Tak terasa waktu ashar menjelang. Ku tunaikan lagi kewajibanku.

Selesai ashar, dokter datang memeriksaku. Beliau bilang, "Masih lama ini, Bu. Mau normal kan? Ditunggu aja ya?" Aku hanya bisa mengangguk. Dokter pun berlalu. Beberapa saat kemudian, Mama dan Papa datang. Papa seperti biasa berusaha menghiburku dengan candaannya. Ah, sungguh menyenangkan ditemani orang-orang yang menyayangi kita.

Mama mengajakku untuk jalan-jalan kembali sampai tak terasa petang pun datang. Maghrib pun tiba, kami menunaikan tugas kami bersama-sama. Mama dan Papa keluar membeli makan malam. Kami pun makan malam bersama di ruang bersalin itu. Tak lupa aku pun meneguk sedikit madu, pesan Mbakku di Jogja, "Biar Wina kuat buat lahiran normal" pesannya pada suamiku yang diteruskan suamiku ke aku. Mbakku juga berpesan kepada suamiku untuk mendampingiku sembari melantunkan 'ayat-ayat cinta' itu. "Semoga lancar", doanya.

Isya' pun menghampiri, aku sudah mulai kesusahan berjalan-jalan sehingga memutuskan untuk sholat di ranjangku. Selesai sholat, Mama dan Papa pun pamitan. Security RS tidak mengizinkan mereka bermalam bersamaku malam itu. Maksimal dua orang yang diperbolehkan menugguiku. Dengan berat hati, akhirnya hanya suamiku yang tinggal. Daripada tidak sama sekali, pikirku.

Suamiku pun menyarankanku untuk beristirahat, aku pun menurut. Setiap kali aku hampir sampai ke Pulau Kapuk, bayiku mengajakku bermain. Dia mengejutkanku, membangunkanku tepatnya. Berulang kali ku alami kejadian itu. Sampai-sampai mataku panas karena terlalu letih, sejak semalam aku tidak bisa tidur nyenyak dan sepertinya malam ini juga tidak pikirku. Rasanya hampir tengah malam ketika aku menyatakan menyerah dengan kondisiku yang tak kunjung membaik. Aku pun meminta suamiku untuk memberitahu dokter bahwa aku siap untuk operasi caesar. Tak sanggup rasanya harus menunggu lebih lama lagi.

Suamiku yang kian taat dengan pesan kedua orang tuaku, sempat-sempatnya menelpon mereka dan meminta izin untuk mengambil pilihan lain di luar rencana kami semua. Sempat terbersit rasa geram pada suamiku pada saat itu (maaf ya Pak). Setelah mengakhiri perbincangannya dengan Mama, suamiku langsung mengabari perawat untuk menelpon dokter. Gantian sekarang aku yang geram dengan perawatnya karena dokter tak kunjung datang. Entah jam berapa tepatnya waktu itu. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. 

Sampai saat ini aku masih salut dan bersedia mengacungi dua jempol sekaligus untuknya karena beliau sempat-sempatnya memeriksa 'bukaan'ku padahal aku sudah menegakkan bendera putih sebelumnya. Beliau dengan muka bersemangat berkata, "Bukaannya sudah lengkap, kita bantu dorong ya Bu." Suamiku spontan menggenggam tanganku seraya mengucapkan basmalah. Aku pun merasakan semangat suamiku. Bismillah. Jumat tanggal 15 April 2011 tepat pukul 01.00 WIB, bayi sepanjang 50 cm dengan berat 3,4 kg menyapa dunia dengan tangisnya. Kelegaan segera datang, muka puas segera terlihat dan ucapan syukur yang tiada henti.

Tubuh mungil itu diarahkan kepadaku, badannya terlihat kemerah-merahan. Dalam sekejap tubuh mungil itu mampu menghilangkan segala penat yang ada dalam badanku. Setelahnya tubuh mungil itu dibersihkan oleh perawat dan segera suamiku pamit untuk melantunkan adzan di telinga kecilnya. Alhamdulillah. Selamat datang di dunia, anakku.

Sekitar pukul 04.00 WIB tubuh mungil diserahkan kepadaku. Sudah saatnya dia mendapatkan haknya, ASI. Alhamdulillah ASIku langsung keluar, dengan lahap tubuh kecil itu mengecupnya sampai akhirnya dia tertidur. Sungguh saat itu mulutku tak henti untuk komat-kamit mengucapkan syukur atas kehadiran makhluk mungil menggemaskan itu. Ku pandangi dia lekat-lekat, ku sentuh lembut pipinya yang gembil, ku lihat wajah damainya, sungguh pemandangan yang sangat indah.

Matahari pun ikut menampakkan diri seolah-olah ingin mengintip tubuh mungil itu, seolah-olah ikut berbahagia dan berkunjung ke ruang bersalinku. Pagi menjelang, Mama, Papa dan Nenek kembali ke RS untuk menjengukku. Suamiku diminta pulang agar bisa beristirahat sejenak di rumah setelah malam panjang yang melelahkannya. Tinggalah Mama, Papa dan Nenek yang menjagaku. Mama yang sudah sangat ahli menghadapi peristiwa bersalin pun membantuku bersiap, dari mulai membantuku mandi, memakaikan bajuku, sampai membantuku buang air.

Tak terasa matahari sudah sampai di atas kepala, Mama dan Papa pamit pulang karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku dijaga oleh Nenek. Nenek sangat berjasa dalam hidupku, saat aku TK aku tinggal bersama Nenek di Pulau Bangka. Sekarang Nenek dengan senang hati membantuku mengurusi bayiku. Sepeninggal Mama dan Papa, tubuhku tak mampu berbohong lagi. Keletihan mendatangiku, aku pun tertidur. Rasanya sudah cukup lama aku tertidur, sewaktu bangun aku lihat Nenek tersenyum. Aku pun langsung mengajak Nenek untuk sama-sama beristirahat. Nenek hanya mengangguk.

Keesokan harinya aku diperbolehkan pulang, namun bayiku belum bisa ikut pulang bersamaku karena katanya masih perlu observasi. Dengan berat hati aku pulang sendiri. Sesampai di rumah aku dan suami sibuk mencari nama untuk bayi kami. Pakde dan Bude-nya tak kalah semangat membantu mencari nama untuk bayi perempuan. Adalah satu nama yang sangat diinginkan suamiku, namun kami urungkan karena nama itu mengarah ke nama baptis.

Atas saran Mas Yono, Mbak Ratna dan anak pertama mereka (Zakiya) pada hari ketujuh kami resmikan nama putri pertama kami itu. Kami beri dia doa dengan sebutan Ayesha Zafira 'Afina. Ayesha merupakan nama lain dari Aisyah, Zafira berarti orang yang beruntung dan 'Afina, selain mengandung makna anak fajar dan wina juga berarti orang yang mudah/senang memaafkan. Dengan tambahan saran dari Bude-nya nama 'Afina kami modifikasi menjadi Afina namun pengucapannya harus tetap seperti seharusnya, pesan Bude-nya (Ratna). Nama panggilannya kami tetapkan sebagai 'Yesha', banggalah Mbak Yaya-nya yang telah menyumbang nama Ayesha tadi.

Tanggal 18 April 2011 pagi aku dan suami kembali ke RS dengan maksud menjemput anak kami. Pihak RS menyampaikan bahwa mereka belum bisa melepaskan anak kami. Dengan berbekal saran dari Mama, kami menjemput paksa anak kami. Suamiku pun diminta menandatangani Surat Pernyataan. Lama rasanya waktu bergulir, banyak administrasi yang perlu diselesaikan. Barulah sekitar pukul tiga sore kami bebas dari RS itu bersama putri kecil kami.

Dimulailah hari-hari baru kami sebagai keluarga, Alhamdulillah pada saat peringatan hari pernikahan kami yang pertama kami telah diberi hadiah terindah yang dibayar dimuka yaitu Ayesha kecil. 

Sepulangnya Ayesha ke rumah, kami berunding masalah panggilan untuk kami dan didapat hasil suamiku ingin dipanggil "Bapak" sedangkan aku merasa kata "ibu" sangatlah bermakna dan kami sepakat memanggil malaikat kecil itu "Yesha".

First anniversary kami habiskan di Pulau Bangka, berbarengan dengan acara cukuran Yesha pada minggu yang sama. Hal ini kami lakukan untuk menghargai Nenek yang sangat membantu kami mengurus cicitnya.

Sejak lahir alhamdulillah Yesha sangat tenang dalam artian sebenarnya. Dia jarang terbangun di malam hari. Jika terbangun hanya cukup satu kali. Lalu dia kembali tidur sampai subuh. Mungkin ini hasil pengajianku semasa hamil, pikirku. Entahlah. Yang jelas aku sangat bersyukur aku bisa menikmati tidur malam dan yang paling penting suamiku tidak terganggu tidur malamnya karena keesokan harinya dia harus bekerja.

Selama dua bulan lebih aku hanya tinggal di rumah bersama Yesha. Nenek sudah kembali ke Pulau Bangka. Selama dua bulan itu aku mengasuh Yesha tanpa bantuan orang lain kecuali suamiku. Aku benar-benar ingin berkenalan dengan malaikat kecil itu. Aku juga ingin dia mengenalku sebaik-baiknya. Dan aku juga ingin dia juga mengenal Bapaknya. Di luar waktu kerja, aku selalu berusaha mengajak suamiku untuk terjun bersama mengasuh Yesha. Dari mulai memandikan Yesha, mengganti popok, membuat susu, menyuapi makan, membeli perlengkapan Yesha, dan sebagainya yang berhubungan dengan Yesha.

Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tak terasa waktu bergulir tanpa harus menunggu kita. Yesha kecil pun bertambah keahliannya. Dia bisa tengkurap sendiri. Kemudian dia bisa duduk. Dia bisa menggenggam berbagai bentuk benda. Dia bisa merangkak dan akhirnya dia bisa berdiri. Tiap tahap tumbuh kembangnya kami nikmati. Ketika melihatnya seketika itu juga kalimat syukur terucap. KebesaranNya terlihat jelas pada tahapan si kecilku. Tak henti lafadz tasbih ku ucapkan ketika melihatnya. Subhanallah.

Menjelang hari peringatan lahir Yesha yang pertama, aku dan suamiku dimutasikan ke Palembang. Kami bertiga menempuh waktu 7 (tujuh) jam dari Jambi ke Palembang. Walaupun lelah, sungguh menyenangkan mengingat masa itu. Ditambah Yesha yang ikut menikmati perjalanan jauh itu.

Tepat satu minggu setelah tanggal 15 April 2012, kami diberikan kesempatan untuk melihat 'keajaiban'-Nya kembali. Waktu itu, pagi hari sebelum berangkat kantor, tiba-tiba Yesha berdiri dengan santainya dan berjalan seperti dia telah lama bisa melangkahkan kakinya tanpa terjatuh sedikit pun. Hari itu hari pertama Yesha belajar berjalan dan langsung lancar. Ucapan syukur menggantung di rumah kami.


Hari-hari selanjutnya Yesha tidak kesulitan sama sekali untuk berjalan malah dia sudah belajar berlari. Sungguh bangga melihatnya. 

Sejak kecil Yesha sangat suka dengan bola. Mungkin karena sewaktu hamil kami sempat nonton bareng bola di sebuah kafe di Jambi. Kalo lihat bola, Yesha seperti lihat permen (untuk anak seumurannya). Hihi. Menggemaskan.

Sekitar usia 1,5 tahun Yesha mulai belajar berbicara. Dia sudah bisa mengucapkan beberapa kata walaupun baru hitungan jari tangan. Saat usianya memasuki dua tahun Yesha telah menguasai banyak kata, walaupun katanya belum sejelas orang dewasa namun kami sudah mampu memahaminya. Menurut suamiku, Yesha cepat bicara mungkin karena aku sering mengajaknya menonton BabyTv sejak dia lahir. Ditambah aku yang suka mengajak bicara Yesha, itupun sesuai pesan Mama. Sejak Yesha masih umur beberapa bulan, aku juga suka mengajaknya membaca buku. Aku dengan senang hati mendongeng untuknya. Sampai saat ini Yesha sangat antusias dengan buku. Alhamdulillah.

Di usia Yesha yang kedua tahun, suamiku membelikan sepeda kecil untuknya. Senangnya dia waktu itu. Raut wajahnya seketika mencerah sambil berkata "Waahh,, sepedaa." Logatnya yang sangat khas membuat dia hampir selalu menjadi perbincangan kami. Intonasi berbicaranya sangat menghibur. Dia pun langsung bersemu merah setiap kami mengulangi ucapannya.

Juni 2013 Yesha kami daftarkan di Sekolah Islam Terpadu Mufidatul Ilmi, tidak terlalu jauh dari rumah. Yesha kelihatan bosan di rumah, kebingungan kurang kegiatan. Dengan pertimbangan itu, kami menyekolahkannya.

Hari pertama masuk sekolah, Yesha langsung bisa menyesuaikan diri. Dia enjoy dengan lingkungan barunya. Kesan pertama gurunya, Yesha itu anak yang aktif dan komunikatif. Ada temannya yang menangis karena baru pertama kali ditinggalkan orang tuanya kerja. Yesha dengan jiwa pertemanan tinggi menanyakan, "Kakak, kenapa nangis? Kita main yuk." Subhanallah

Pernah satu ketika Yesha bermain bersama temannya, Yesha digigit hingga terluka. Sedih melihatnya. Kami pun bertanya kepada Yesha. Dia dengan tenangnya bercerita kalo dia digigit temannya. Dia juga bilang sakit. Demi Allah, tak ku lihat sedikit pun dendam di matanya. Ya Allah, lagi-lagi Engkau mengajarkan kami pelajaran hidup yang sangat berharga lewat titipanMu. Sungguh rasanya lebih banyak kami belajar darinya dibanding kami mengajarkannya. Terima kasih juga Engkau telah mengabulkan doa kami duhai Yang Maha Pemberi. Kami mendoakan dia menjadi seorang "Afina" dan begitulah dia adanya.

Setiap hari rasanya seperti kejutan untuk kami. Sikap Yesha semakin hari semakin bermakna. Berkat bantuan sekolahnya, Yesha pandai bernyanyi, paham angka, mengenal alphabet, mengucapkan hadits meskipun masih terbata-bata, berdoa dengan khusyuknya, dsb.

Tidak hanya itu, kami sebagai orang tuanya sangat bangga dengan Yesha sungguh bukan karena dia murid nomor satu di sekolahnya. Kami sangat bangga kepadanya karena sikapnya yang sangat sopan, tutur katanya yang baik, semua itu sungguh sangat menggembirakan. Impian kami adalah agar dia menjadi anak yang soleha.


Yesha saat ini lebih cerdas dalam berbahasa. Dia (alhamdulillah) sudah paham kapan harus berkata terima kasih, berdoa dan meminta maaf.

Yesha juga lebih pandai bersikap. Dia tahu kapan harus diam. Dia mengerti jika Ibu atau Bapaknya sedang mengaji, dia harus menyimak. Pernah suatu ketika Yesha yang saking khusyu'-nya mendengarkan lantunan ayat-ayat cintaNya jatuh tertidur. Seolah-olah dia mendengarkan nyanyian nina bobo terbaik. Tidurnya sangat pulas seolah dia diselimuti dengan penjagaan terhebat. Sungguh menyenangkan melihat ekspresi tidurnya saat itu.

Sejak dini kami sangat menekankan agar dia menjadi anak yang berperilaku sopan, betutur kata ramah dan menyenangkan orang lain dengan sikapnya. Masalah kecerdasan dan angka-angka untuk nilai pelajaran dapat dicari kelak oleh Yesha sendiri.

Mendekati hari jadinya yang ketiga tahun, Yesha tentunya sudah sangat banyak berkembang. Jika diajak sholat, langsung bilang "Iya, Bu" atau "Iya, Pak". Selesai sholat langsung mengajak berdoa. Jika ada salah dia langsung bilang "Maaf, Bu" atau "Maaf, Pak". Sungguh sesuatu yang patut disyukuri.

Sejak tanggal 6 April 2014 aku mewajibkan Yesha untuk tidak memakai 'popok' lagi selama di rumah walaupun malam hari. Selama ini aku khawatir menganggu tidurnya, tidurku, dan tentunya tidur suamiku. Aku khawatir tidak dapat konsisten bangun malam hari demi mengajaknya ke toilet. Namun aku harus melakukannya sekarang, jika tidak kapan lagi. Malam pertama Yesha tentu ngompol tanpa sadar dan dia tetap dapat tidur dengan nyaman, padahal malam pertama itu aku sudah bangun malam dua kali agar dia tidak ngompol. Tapi tetap kejadian juga. Baiklah, sepertinya ini akan butuh waktu. Aku hanya minta Allah memberikanku kekuatan. Malam kedua Yesha kembali ngompol namun kali ini dia merasa risih, terbangun dan 'ngadu', aku pun mengganti celananya sembari menjelaskan bahwa dia harus membangunkanku agar celananya tidak basah kembali. Alhamdulillah hari kedua ada kemajuan, yaitu dia merasakan ompolnya. Keajaiban terjadi pada malam ketiga, Yesha tidak ngompol sama sekali. Setiap kali dia gelisah, aku terbangun dan menanyakan dia apakah dia mau pipis. Dia pun bersedia bangun malam dan pipis ke toilet. Keesokan harinya aku berkata padanya bahwa aku bangga dia bisa tidak ngompol. Aku membiasakan pujian jika dia berhasil melakukan sesuatu dan tak lupa meminta Bapaknya untuk memberikan pujian juga agar dia semakin semangat untuk melakukan kebaikan. Malam seterusnya alhamdulillah Yesha tidak ngompol lagi.

Wajarlah menikah itu merupakan sunah karena darinya aku belajar banyak. Darinya-lah aku menyaksikan berkah-Nya. Darinya-lah aku teringat untuk bersyukur.

Allah mengajarkan kami melalui proses pernikahan. Allah mengajarkan kami melalui titipanNya.

Benar kata orang-orang, banyak anak banyak rezeki. Rezeki di sini bukan semata-mata soal harta. Rezekinya adalah pemahaman lebih tentang hidup, pelajaran bersyukur, serta kepuasan jika berhasil menjadi keluarga sakinah mawaddah warohmah.

Kesempatan memiliki anak merupakan pengalaman yang sangat berharga. Di setiap pertumbuhan anak merupakan rahmat. Setiap perkembangan anak adalah nikmat. Dan kesempatan melihat tumbuh kembang anak adalah kebahagiaan tiada tara.












No comments: