Total Pageviews

Wednesday, October 19, 2016

Mengamalkan Penolakan Gratifikasi





Tulisan ini saya buat dalam rangka Lomba Menulis Blog HLN 71. Kali ini saya menulis  tentang pengalaman menolak Gratifikasi yang masih marak di lingkungan PT PLN (Persero). Pengalaman lainnya pernah saya kontribusikan untuk Buku Saatnya Hati Bicara 2. Inilah kisah saya.



Mulai dari OJT, pengangkatan/penempatan, hingga mutasi jabatan, saya selalu ditempatkan di “lahan basah”. Sewaktu OJT dan penempatan pertama, saya menjadi staf di bagian logistik Sektor Jambi. Lalu, sampai saat ini saya merupakan staf administrasi di sub bidang Pemeliharaan Pembangkit Kantor Induk PLN KITSBS. Selama hampir tujuh tahun bekerja, saya selalu dikelilingi dengan orang yang suka memberi “ucapan terima kasih”.



Sewaktu di Sektor Jambi, salah satu unit di bawah pengawasan PLN KITSBS, saya disuguhkan gratifikasi senilai ratusan ribu rupiah. Nilai gratifikasi ini meningkat tajam ketika saya saya berada di Kantor Induk PLN KITSBS. Saya ditawari gratifikasi hingga jutaan rupiah.



Mungkin pembaca penasaran dari mana saya tahu nilai gratifikasi tersebut?



Jawabannya, tentu saja dari ketebalan amplop yang diberikan kepada saya.



Tidak hanya amplop berisi uang tunai, saya juga pernah dibagikan tas branded yang bernilai jutaan rupiah.



Hampir semua kegiatan di kantor saya ceritakan kepada suami. Salah satunya adalah masalah gratifikasi. Suami menolak dengan tegas perihal gratifikasi. Dia menjelaskan bahwa agama Islam tidak membenarkan gratifikasi. Lalu, PLN juga sudah mengatur tentang penolakan gratifikasi. Dan, logika sendiri juga berpikir kenapa harus menerima gratifikasi? Toh, kita sudah diberikan penghasilan oleh perusahaan atas kerja kita. Lalu, kenapa pihak lain harus memberikan kita imbalan tambahan? Inilah beberapa alasan yang memotivasi saya untuk menolak gratifikasi.



Gratifikasi menorehkan berbagai macam coretan dalam kehidupan saya.



Mulai dari coretan kecil.

Pemberi Gratifikasi        : “Mbak, ini ada ucapan terima kasih dari kami”.

Saya                             : “Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerimanya”.

*end



Lalu coretan sedang.

Pemberi Gratifikasi        : “Mbak, ini ada ucapan terima kasih dari kami”.

Saya                             : “Maaf, saya tidak bisa menerimanya, Pak”.

Pemberi Gratifikasi        : “Lho, kenapa, Mbak?”

Saya                             : “Karena itu sudah merupakan tugas saya”.

*end



Hingga coretan panjang.

Pemberi Gratifikasi        : “Mbak, ini ada ucapan terima kasih dari kami”.

Saya                             : “Tidak usah, Pak”.

Pemberi Gratifikasi        : “Lho, kenapa, Mbak?”

Saya                             : “Karena suami saya tidak ridho”.

Pemberi Gratifikasi        : “Kan cukup terima aja, Mbak. Gak perlu bilang ke suami”.

Saya                             : “Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima pemberian yang tidak dirihoi suami

                                      saya”.

*end



Penolakan gratifikasi yang saya lakukan mendapat respon positif dari sebagian pemberi gratifikasi. Sebaliknya, ada juga pemberi gratifikasi yang memberikan respon negatif. Saya misalkan pemberi gratifikasi yang memberikan respon positif adalah Bapak A. Sedangkan pemberi gratifikasi yang memberikan respon negatif adalah Bapak B.



Setelah penolakan gratifikasi yang saya lakukan, hubungan kerja antara saya dan Bapak A tetap berjalan dengan baik. Sebaliknya, hubungan kerja antara saya dan Bapak B sedikit berbeda. Bapak B menjadi sungkan untuk melakukan komunikasi dengan saya. Bapak B lebih memilih orang lain untuk mendiskusikan pekerjaannya dibanding saya. Hingga Bapak B membatasi kontak dengan saya.



Semua reaksi yang saya terima, baik itu positif maupun negatif, tidak menurunkan motivasi saya untuk mengamalkan penolakan gratifikasi. Saya tetap berusaha memberikan pelayanan terbaik tanpa iming-iming mengharapkan gratifikasi. Melalui tulisan ini saya berharap rekan-rekan yang lain juga dapat mengamalkan penolakan gratifikasi, seperti yang saya lakukan.


No comments: