Tulisan ini saya buat dalam rangka Lomba Menulis Blog HLN 71. Kali ini saya
menulis tentang pengalaman
menolak Gratifikasi yang masih marak di lingkungan PT PLN (Persero). Pengalaman
lainnya pernah saya kontribusikan untuk Buku Saatnya Hati Bicara 2. Inilah kisah saya.
Mulai dari OJT, pengangkatan/penempatan,
hingga mutasi jabatan, saya selalu ditempatkan di “lahan basah”. Sewaktu OJT
dan penempatan pertama, saya menjadi staf di bagian logistik Sektor Jambi. Lalu,
sampai saat ini saya merupakan staf administrasi di sub bidang Pemeliharaan
Pembangkit Kantor Induk PLN KITSBS. Selama hampir tujuh tahun bekerja, saya
selalu dikelilingi dengan orang yang suka memberi “ucapan terima kasih”.
Sewaktu di Sektor Jambi, salah satu unit di
bawah pengawasan PLN KITSBS, saya disuguhkan gratifikasi senilai ratusan ribu
rupiah. Nilai gratifikasi ini meningkat tajam ketika saya saya berada di Kantor
Induk PLN KITSBS. Saya ditawari gratifikasi hingga jutaan rupiah.
Mungkin pembaca penasaran dari mana saya tahu
nilai gratifikasi tersebut?
Jawabannya, tentu saja dari ketebalan amplop
yang diberikan kepada saya.
Tidak hanya amplop berisi uang tunai, saya
juga pernah dibagikan tas branded
yang bernilai jutaan rupiah.
Hampir semua kegiatan di kantor saya
ceritakan kepada suami. Salah satunya adalah masalah gratifikasi. Suami menolak
dengan tegas perihal gratifikasi. Dia menjelaskan bahwa agama Islam tidak
membenarkan gratifikasi. Lalu, PLN juga sudah mengatur tentang penolakan
gratifikasi. Dan, logika sendiri juga berpikir kenapa harus menerima
gratifikasi? Toh, kita sudah
diberikan penghasilan oleh perusahaan atas kerja kita. Lalu, kenapa pihak lain
harus memberikan kita imbalan tambahan? Inilah beberapa alasan yang memotivasi
saya untuk menolak gratifikasi.
Gratifikasi menorehkan berbagai macam coretan
dalam kehidupan saya.
Mulai dari coretan kecil.
Pemberi Gratifikasi : “Mbak, ini ada ucapan terima kasih dari kami”.
Saya : “Maaf, Pak. Saya tidak
bisa menerimanya”.
*end
Lalu coretan sedang.
Pemberi Gratifikasi : “Mbak, ini ada ucapan terima kasih dari kami”.
Saya : “Maaf, saya tidak bisa
menerimanya, Pak”.
Pemberi Gratifikasi : “Lho, kenapa, Mbak?”
Saya : “Karena itu sudah
merupakan tugas saya”.
*end
Hingga coretan panjang.
Pemberi Gratifikasi : “Mbak, ini ada ucapan terima kasih dari kami”.
Saya : “Tidak usah, Pak”.
Pemberi Gratifikasi : “Lho, kenapa, Mbak?”
Saya : “Karena suami saya
tidak ridho”.
Pemberi Gratifikasi : “Kan cukup terima aja, Mbak. Gak perlu bilang ke suami”.
Saya : “Maaf, Pak. Saya tidak
bisa menerima pemberian yang tidak dirihoi suami
saya”.
*end
Penolakan gratifikasi yang saya lakukan
mendapat respon positif dari sebagian pemberi gratifikasi. Sebaliknya, ada juga
pemberi gratifikasi yang memberikan respon negatif. Saya misalkan pemberi gratifikasi
yang memberikan respon positif adalah Bapak A. Sedangkan pemberi gratifikasi
yang memberikan respon negatif adalah Bapak B.
Setelah penolakan gratifikasi yang saya
lakukan, hubungan kerja antara saya dan Bapak A tetap berjalan dengan baik. Sebaliknya,
hubungan kerja antara saya dan Bapak B sedikit berbeda. Bapak B menjadi sungkan untuk melakukan komunikasi
dengan saya. Bapak B lebih memilih orang lain untuk mendiskusikan pekerjaannya
dibanding saya. Hingga Bapak B membatasi kontak dengan saya.
Semua reaksi yang saya terima, baik itu
positif maupun negatif, tidak menurunkan motivasi saya untuk mengamalkan
penolakan gratifikasi. Saya tetap berusaha memberikan pelayanan terbaik tanpa iming-iming mengharapkan gratifikasi.
Melalui tulisan ini saya berharap rekan-rekan yang lain juga dapat mengamalkan
penolakan gratifikasi, seperti yang saya lakukan.
No comments:
Post a Comment