Minggu 21 Juni 2015 tepat tengah hari di Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, jantungku berdegup kencang ketika mendengar pemberitahuan pendaratan pesawat yang dari tadi ku tunggu. Mataku langsung tertuju pada eskalator pintu kedatangan domestik di satu-satunya Bandara di Provinsi Sumatera Selatan. Ku tatap lamat-lamat, satu per satu penumpang yang menuruni eskalator itu. Berharap orang yang ditunggu segera muncul. Hatiku semakin berpacu dan dipenuhi sejumlah rindu. Segera ku palingkan mata pada buku yang ku bawa demi mengurangi kecepatan organku yang makin berpacu. Lalu mata ku arahkan ke tempat pengambilan bagasi.
Tak lama tampaklah gadis kecil dengan jaket merah muda berjalan santai mengikuti langkah bapaknya di depan, tanpa sadar ada seseorang di kejauhan yang begitu memperhatikan setiap langkah kecilnya. Itulah anakku, Ayesha. Dialah yang dari tadi ku tunggu dengan sabarku. Berharap segera bertemu dan melontarkan segala rindu.
Semakin ku fokuskan mataku padanya, semakin mataku terasa panas, hidungku terganggu, dadaku sesak dipenuhi banyak rindu.
Segera ku raih telepon genggamku di dalam tas, menekan nomor dan mulai mengatur nafas. Suara di sana mengucapkan salam, aku menarik nafas dan membalas salam. "Pak, Yesha tolong diantar ke luar dulu. Nanti baru Bapak nunggu bagasi lagi. Ibu tunggu di luar", pintaku.
Gadis kecil berkerudung lembayung muda pun melangkah menuju ke arahku. Spontan ku lambaikan tanganku. Dia pun setengah berlari seakan tak sabar juga ingin bertemu. Aku sabar menunggu tepat di depan pintu (bukan tempat seharusnya aku berdiri, namun demi segera bertemu si buah hati, kakiku pun melangkah sendiri, tanpa henti). Begitu pintu terbuka dia segera berlari menghambur padaku, memelukku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku pun memeluk tak kalah erat darinya, mencium wajah kecilnya, menanyakan apakah dia merindukanku sambil menahan haru. Dia berkata, "Yesha kangen sama Ibu". "Ibu juga kangeeen sama Yesha", balasku.
Tangisku akan pecah jika saja tidak ingat puasaku dan teralihkan oleh insiden itu. Tangan anak kecil terjepit di pintu otomatis. Tangis anak itu akan pecah, tangisku urung pecah, aku pun membantunya. Para penjaga keamanan dan orang sekitar mengeluhkan kejadian itu. Entah ke mana orang tua anak yang terjepit tangannya itu.
Yesha segera diamankan orang tuaku. Dan aku kembali menunggu suamiku sambil menatap conveyor. Kali ini aku berdiri di tempat yang seharusnya (di belakang pagar pembatas pintu kedatangan).
Setelah pengambilan bagasi selesai, aku pun menceritakan isi hatiku pada suami. Yesha pergi berlibur sejak 17 Juni 2015 ke Yogyakarta, sembari menemani suami perjalanan dinas ke kota Gudeg. Waktu yang mungkin terasa singkat dan menyenangkan bagi Yesha. Namun serasa lama bagi si penunggu, yaitu aku.
Namun sungguh tak ku sesali keputusan itu, demi pengalaman berarti untuk malaikat kecilku.
No comments:
Post a Comment